Bandar Lampung - Perkara gugatan cerai yang diajukan Wayan Ayu Ardhani dengan tergugat Dewa Kadek Budia, menarik untuk dicermati. Terkait perkara dengan registrasi perkara perdata nomor: 117/Pdt.G/2024/PN Tjk, yang telah digelar persidangannya di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang, beberapa kali, itu kuasa hukum tergugat, Novianti, SH, membebekan atas fakta dan data yang sebenarnya. Apa saja?
“Bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh penggugat tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan tidak terbukti secara sah selama persidangan. Tuduhan mengenai perselisihan berat dan kekerasan dalam rumah tangga, yang menjadi inti perkara ini, tidak dapat dibuktikan oleh penggugat dengan bukti yang relevan dan memadai,” kata Novianti, SH, Rabu (30/10/2024) pagi.
Dijelaskan, dalam hukum acara perdata, beban pembuktian terletak sepenuhnya pada pihak penggugat. Namun, hingga saat ini, dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat tidak didukung dengan bukti yang sah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Maksudnya? “Saksi-saksi yang dihadirkan oleh penggugat tidak memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi rumah tangga tergugat, sehingga tidak relevan dengan pokok perkara. Selain itu, tidak ada bukti fisik seperti visum atau rekam medis yang dapat mendukung tuduhan adanya kekerasan sebagaimana yang didalilkan,” ungkap Novianti.
Berdasarkan fakta persidangan, kuasa hukum tergugat Dewa Kadek Budia itu menyampaikan, bahwa gugatan cerai tersebut tidak beralasan dan harus ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim.
“Kami menegaskan, bahwa dalil-dalil penggugat tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah. Sebagaimana diatur dalam hukum, setiap gugatan harus didukung oleh bukti yang memadai. Dalam hal ini, penggugat tidak memenuhi persyaratan tersebut, sehingga kami memohon agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menolak gugatan secara keseluruhan,” tutur Novianti.
Pengacara wanita yang dikenal tangguh itu juga menyoroti bahwa tergugat telah berusaha menyelesaikan masalah rumah tangga melalui mediasi adat, dengan melibatkan tokoh adat Bali, diharapkan dapat menyelesaikan masalah secara damai dan kekeluargaan.
“Dalam tradisi Bali, mediasi adat merupakan cara yang dihormati untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga. Klien kami telah menunjukkan itikad baik dengan berupaya melakukan proses ini, namun penggugat menolak upaya damai tersebut, dan memilih untuk membawa perkara ini ke ranah pengadilan,” jelas Novianti lagi.
Kuasa hukum tergugat itu pun berharap agar Majelis Hakim PN Tanjung Karang dapat memutus perkara ini secara adil dan objektif, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta kaidah hukum yang berlaku.
Novianti berharap, pentingnya memperhatikan Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
“Kami percaya bahwa dengan mempertimbangkan semua fakta dan dasar hukum, Majelis Hakim akan memberikan putusan yang seadil-adilnya. Ini bukan hanya tentang gugatan ini, tetapi tentang bagaimana proses hukum dijalankan dengan kejujuran dan objektivitas, sehingga memberikan kepastian hukum kepada semua pihak,” tambah Novianti.
Dengan putusan yang adil, menurut Novianti, tergugat Dewa Kadek Budia berharap dapat melanjutkan kehidupan dengan tenang dan bermartabat, serta dapat kembali fokus pada aktivitas keseharian tanpa dibayangi oleh perkara ini.
Sesuai agendanya, sidang kasus gugatan cerai ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 30 Oktober 2024, dengan agenda pembacaan putusan. Tergugat menyatakan kesiapannya untuk menerima dan mengikuti seluruh proses hukum yang berlaku dengan penuh rasa hormat.
Kuasa Hukum Dewa Kadek Budia, Novianti, mengajak masyarakat untuk memahami pentingnya menegakkan keadilan dalam setiap putusan pengadilan.
“Proses hukum bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi juga tentang menjaga integritas sistem peradilan, di mana putusan yang dihasilkan harus berlandaskan pada fakta dan hukum yang jelas,” ucap Novianti seraya berharap, Majelis Hakim dapat mempertimbangkan seluruh fakta secara objektif dan tidak terpengaruh oleh tuduhan yang tidak terbukti, agar kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tetap terjaga dan para pihak dapat menerima hasil persidangan dengan sikap yang legowo serta jiwa besar. (Red*)