Tubaba - Calon tunggal alias bakal melawan "kotak kosong" pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi topik hangat yang dibicarakan masyarakat luas di Lampung termasuk di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba).
Istilah kotak kosong seakan-akan ancaman bagi demokrasi, dan digambarkan sebagai dinasti politik yang kuat, akibat dukungan partai politik secara penuh.
Banyak pendapat bahwa calon tunggal melawan kotak kosong adalah simbol "matinya demokrasi", "mundurnya demokrasi", juga disebut-sebut sebagai bentuk "demokrasi yang dikebiri".
Bahkan, partai politik yang seharusnya bisa mengusung calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dari partainya sendiri, dituding "gagal kaderisasi".
Padahal fenomena calon tunggal adalah sah-sah saja dan sudah dipertegas dalam ketentuan undang-undang, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi.
Kritik atau mungkin kekecewaan terhadap fenomena kotak kosong, seringkali terlihat dari narasi dan ekspresi yang disampaikan oleh berbagai pihak dan kelompok tertentu.
Siapa mereka? Hemm.... tentu akan diketahui dengan jelas dan nyata dihadapan publik.
Pemilihan kepala daerah dengan satu pasang calon saja, atau yang disebut calon tunggal tadi, akan menyuguhkan adanya dua kolom atau kotak pada surat suara yang dicetak oleh KPU.
Kolom pertama berisi gambar pasangan calon yang lolos syarat pencalonan, sementara kolom kedua hanya kosong tanpa gambar calon lainnya. Inilah yang dimaksud dengan kontestan calon melawan "kotak kosong".
Isu kampanye atau sosialisasi untuk memilih kotak kosong telah berkembang. Tentu Itu Hak demokrasi warga negara, mengekspresikan ketidak puasan terhadap pilihan calon pemimpin yang disajikan dalam surat suara pilkada.
Namun, perlu diteliti apakah gerakan ini murni dari hati nurani atau justru mengarah pada negosiasi.
Misal, masyarakat pendukung kotak kosong menggebu gebu menyuarakan untuk memilih kotak kosong dimotori kelompok tertentu, tetapi jika sang pelopor dirangkul oleh pihak yang merasa dapat merugikan hasil pemilihan, bisa saja kelompok itu akhirnya berubah haluan atau justru memilih diam dan menghilang begitu saja.
Diera perubahan zaman ini, tidak jarang ada pihak yang sedang "cari panggung" dan tampil ba'k pahlawan demokrasi, tentu masyarakat awam juga akan memahami maksud dan tujuan yang terselubung.
Selain itu, bisa saja kampanye memilih kotak kosong berpotensi memunculkan kompleksitas bahkan konflik sosial efek politik daerah dikehidupan bermasyarakat.
Dampak sosial dari ajakan memilih kotak kosong, bisa jadi akan memicu emosional dan pemahaman demokrasi yang berbeda-beda antara kelompok pemilih calon dan kelompok kotak kosong.
Biasanya perbedaan pandangan, diawali dengan obrolan berlebihan atas pandangan sang calon yang diperdebatkan, sulitnya menerima kenyataan atas munculnya beberapa calon bahkan melawan kotak kosong sebagai kontestan, membuat masyarakat akan berasumsi dan spekulasi masing-masing.
Perdebatan mengenai kotak kosong mewarnai percakapan Group group WhatsApp bahkan obrolan santai ditengah masyarakat, namun yang pasti, fenomena ini tentu hal yang wajar dan perlu dilihat secara objektif dan hati-hati.
Bisa jadi obrolan politik masyarakat terjadi di poskamling, ruang-ruang kerja, warung kopi, tempat nongkrong, saat bersilaturahmi, kumpulan komunitas bahkan obrolan di sosial media, WhatsApp dan media-media soal lainnya.
Kalau tidak bisa menahan sabar, Ujung-ujungnya adu mulut, saling hujat, saling kompor, dan berujung kesalah paham. Bagi yang menganggap hal biasa tentu biasa saja, tapi bagi yang "Baperan", semua celotehan pasti dikeluarkan.
Memang tidak semua masyarakat mudah diprovokasi, tetapi perlu diingat lagi bahwa dapat meraih 50% lebih hasil Pilkada saja sudah dapat dipastikan menang pilkada.
Tidak mungkin juga masyarakat pendukung kotak kosong akan berlarut-larut tidak mendukung pemerintahan yang tidak dikehendakinya, dan pasti akan menyesuaikan situasi dan kondisi yang sebenarnya.
Perlu diketahui juga, Fenomena pasangan calon tunggal dalam Pilkada bukanlah hal yang baru. Situs Bawaslu RI pernah mencatat bahwa pada Pilkada 2015 terdapat tiga calon tunggal, Pilkada 2017 bertambah menjadi sembilan calon tunggal, kemudian Pilkada 2018 menjadi 16 calon tunggal, dan Pilkada 2020 naik menjadi 25 calon tunggal.
Jadi Apakah kontestan melawan kotak kosong adalah ancaman bagi demokrasi atau bagian dari dinamika politik yang wajar? Tergantung cara pandang dari sudut mana, soalnya sejak 2015 fenomena ini sudah ada.
Provinsi Lampung kini dihadapkan dengan potensi Pilkada melawan kotak kosong, seperti halnya di Tubaba, bukan hal baru, 2017 silam Tubaba satu satunya di Lampung yang melawan Kotak Kosong dan hasilnya tetap rukun damai.
Saat ini, Tubaba kembali dihadapkan dengan melawan Kotak Kosong, bisa saja daerah Kabupaten lainnya di Lampung, atau bahkan Cagub Cawagub Lampung berpotensi calon tunggal, bisa saja terjadi.
Meski masyarakat Lampung akan disuguhan informasi pro dan kontra, bahkan muncul ide bakal ada kampanye kotak kosong, itulah dinamika politik daerah. Bakal manggung dimana ya?.. Hanya waktu yang dapat menjawab, asalkan masyarakat tidak mudah hanyut dalam provokasi. "Salam Demokrasi tanpa Provokasi".
Penulis : Dedi Priyono (Ketua PWI Tulang Bawang Barat)